Jumat, 04 Juni 2010

ilmu-ilmu hadis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan, serta bagaimana caranya berhubungan dengan sesama mahluk, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Perkembangan selanjutnya, dalam mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan kehendak Allah Swt.. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Allah Swt. mengutus para nabi dan rasul-Nya kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar agar mereka bahagia dunia dan akhirat. Rasulullah lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar. Hukum Syara’ adalah khitab Syari’ (seruan Allah sebagai pembuat hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti Al-Qur’an dan Hadits.
Dengan latar belakang di atas maka penulis mencoba memaparkan tentang “Kedudukan dan Fungsi Hadits”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tadi, maka yang akan kami bahas adalah:
1. Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam?
2. Bagaimana fungsi hadits terhadap al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum Islam
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum syariat Islam yang tetap. Orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada dua sumber hukum Islam tersebut atau hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Qur’an yang wajib diiikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Beberapa faktor yang mendukung pernyataan ini adalah:
1. Dalil al-Qur’an
Banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Di antara ayat-ayat dimaksud adalah Q. S. Ali Imran (3): 179:
•                                       
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar.
Ayat di atas menekankan pemisahan yang dilakukan oleh Allah Swt. antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat keimanan mereka. Oleh karena itu oranng mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasullullah Saw., juga menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasullullah Saw. ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah Swt.. Ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah ini antaranya:
       •     
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Q. S. Ali‘Imran: 32)
Dalam firman-Nya yang lain:
                              
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q. S. al- Nisa’: 59)
Kemudian Allah Swt. juga berfirman:
         •   •    
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya. (Q. S. Al- Hasyr: 7)
     
Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. (Q. S. al-Maidah: 59)
             •             
Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". (Q. S. al-Nur: 54)
Dari beberapa ayat al-Qur’an di atas, tergambar bahwa setiap ada perintrah taat kepada Allah Swt. dalam al-Qur’an selalu diiringi dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula peringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah, sering disejajarkan dengan ancaman durhaka kepada Rasulullah Saw.
Bentuk-bentuk seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban taat kepada semua yang disampaikan Pasulullah Saw.. Cara-cara penyajian Allah Swt. seperti ini hanya diketahui oleh orang-orang yang menguasai bahasa Arab dan memahami ungkapan-ungkapan serta pemikiran-pemikkiran yang terkandung di dalamnya, yang akan member masukan dalam memahami maksud ayat tersebut.
Dari sinilah sebetulnya dapat dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasulullah Saw. dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat Islam.
2. Dalil al-Hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah Saw. berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, di samping al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:

Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh [ada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. (H. R. Malik)
Dalam hadits lain, Rasul bersabda:


Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin (Khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya. (H. R. Abu Daud dan Ibnu Majah)
3. Kesepakatan Ulama
Ulama Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah stu dasar hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap al-Qur’an.
Kesepakatan uamat Muslim dalam memercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak rasulullah masih hidup. Peristiwa yang menunjukkan hal ini antara lain:
a. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia pberkata, “Saya tidak meninggalakan sedikitpun sesuatu yang diamalakan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad, ia berkata, “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.
c. Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa ‘Usman bin ‘Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah Saw., saya makan sebagaimana makannya Rasulullah, dan saya salat sebagaimana salatnya Rasulullah”.
4. Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad Saw. telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalm mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah Swt., baik isi maupun ofrmulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Allah Swt.. namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahtu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang manasakhnya.
Bila kerasulan Nabi Muhammad telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undanan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Di samping itu, secara logika, kepercayaan kepada Rasulullah Saw. sebagai rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.

B. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Allah Swt. menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an dapat dipahami oleh manusia, maka rasulullah Saw. diperintahka untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadits-haditsnya. Oleh karena itu, fungsi hadits Rasulullah Saw. sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu bermacam-macam. Untuk lebih jelasnya, yaitu:
1. Bayan al-Taqrir
Bayan al-taqrir (bayan al-ta’kid atau bayan al-itsbat) ialah menetapkan dan meperkuat apa yang telah diterangkan di dalm al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh kandungan al-Qur’an. Contoh hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar:

“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulann, maka nerpuasalah, juga apabila meelihat (ru’yah) itu maka berbukalah”. (H. R. Muslim)
Hadits ini dating men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini:
     
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu….(Q. S. al-Baqarah: 185)
Contoh lain, hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi:


“Rasulillah Saw. telah bersabda: “Tidak diterima salat seseorang yang berhadats sebelum ia berwudu”. (H. R. Bukhari)
Hadits ini men0taqrir Q. S. al-Maidah: 6 menegnai keharusan berwudu ketika seseorang akan mendirikan salat. Ayat dimaksud berbunyi:
                
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki….
2. Bayan al-Tafsir
Bayan al-tafsir adalah kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan salat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qhiasas, hudud dan sebagainya. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalh ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, atau halangan-halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. melalui haditsnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh:

“Shalatlah sebagaimana engkau meliahat aku salat”. (H. R. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan salat. Sebab dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan salat adalah:
   •    
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku. (Q. S. al-Baqarah: 43)
Sedangkan contoh hadits yamg membatasi (taqyid) atay-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Rasulullah Saw.:


“Rasulullah Saw. didatangiseseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangannya”.
Hadits ini men-taqyid Q. S. al-Maidah: 38 yang berbunyi:
              
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Contoh lain adalah sabda Rasulullah Saw.:
“Telah dihalalkan bagi kami, dua (macam) bangkai, yaitu bangkai ikan dan belalang”.
Hadits ini mentaqyidkan ayat al-Qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah Swt.:
      
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi…” (Q. S. al-Maidah: 3)
3. Bayan al-Tasyri’
Bayan al-tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja (ashl) saja.
Hadits-hadits Rasulullah Saw. yang termasuk ke dalam kelompok ini, di antaranya hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antar istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Contoh hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut:



“Bahwasanya, Rasulullah Swa. Telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim”. (H. R. Muslim)
Hadits-hadits Rasulullah Saw. yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasulullah Saw.) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
4. Bayan al-Nasakh
Untuk bayan jenis ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadits sebagai nasikh terhadap sebagian hukum al-Qur’an dan ada juga yang menolaknya.
Kata naskh secara bahasa bararti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), itahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Terjadinya naskh ini karana adanya dalil syara yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa berlakunya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan Syari’ (pembuat syari’at) menurunkan bahwa ayat tersebut ttidak berlaku lagi untuk selama-lamanya (temporal) karena ketentuan yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansa saat itu.
Salah satu contoh yang biasa diajukan para ulama ialah hadits yang berbunyi:

“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits tersebut menurut mereka menasakh isi firman allah Swt.:
        •         
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q. S. al-Baqarah: 180)













BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam didukkung oleh beberapa hal:
a. Dalil al-Qur’an.
b. Dalil al-Hadits.
c. Kesepakatan ulama (ijma’)
d. Kesesuaian dengan petunjuk akal.
2. Fungsi hadits terhadap al-Qur’an sebagai penjelas (bayan) dapat dibagi atas:
a. Bayan al-taqrir.
b. Bayan al-tafsir.
c. Bayan al-tasyri’.
d. Bayan al-nasakh.

B. Saran
Dengan hadirnya makalah ini, kami harap dapat memberi informasi mengenai kedudukan hadits dan lebih lanjut lagi dapat memberi penjelasan mengenai beberapa perbedaan pendapat menegnai hadits itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar