Jumat, 09 Juli 2010

UANG

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kita ketahui bahwa lembaga keuangan tidak lepas dari bidang keuangan, baik menarik dana, menyalurkan dana atau kegiatan keuangan lainnya. Pokok utama dari kegiatan keuangan adalah uang, karena uanglah yang dijadikan inti kegiatan lembaga keuangan.
Sebelum pasar barang dan jasa modern dalam konteks seperti yang banyak dipahami orang saat ini terbentuk, kegiatan transaksi barang dan jasa dilaksanakan dengan cara-cara yang jau lebih sederhana. Transaksi barang dan jasa dilaksanakan melalui pertemuan langsung antara pihak yang mengalami surplus barang atau jasa tertentu dengan pihak yang mengalami kekurangan barang atau jasa tersebut. Model ini lebih umum dikatakan “barter”.
Disamping adanya perantara, awal kegiatan ekonomi modern juga ditandai dengan adanya penggunaan uang. Pada awal diperkenealkannya uang sebagai alat untuk melakukan kegiatan ekonomi, pertukarang antara pihak yang mengalami surplus uang dengan pihak yang memerlukan tambahan uang hampir selalu daapt dilaksanakan dengan cara pertemuan langsung.
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk mengembangkan makalah ini maka ada beberapa permasalahan yang akan kami angkat, antara lain:
1. Bagaimana sejarah munculnya uang?
2. Apa pengertiang uang?
3. Apa syarat-syarat uang?
4. Apa fungsi dari uang itu?
5. Apa yang menjadi peranan uang
6. Bagaimana sejarah munculnya jenis-jenis uang di Indonesia?
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, antara lai:
1. Mengetahui sejarah munculnya uang.
2. Mengetahui dan memahami pengertian uang.
3. Mengetahui syarat-syarat uang.
4. Mengetahui dan memahami jenis-jenis uang.
5. Mengetahui peranan uang.
6. Mengetahui sejarah munculnya jenis-jenis uang di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH UANG
Uang yang kita kenal sekarang ini mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukarang karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannya dengan usaha sendiri manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk komsumsi sendiri. Singkatnya, apa yang ddiperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya.
Perkembangan selanjutnya menghadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliinya dengan barang-lain yang dibutuhkan. Akibatnya timbul “barter” yaitu barang yang dituka dengan barang. Namun pada akhirnya, banyak kesulitan yan dirasakan dengan sistem ini, diantaranya kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yan gdimilikinya dan kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat ditukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukarang barang dan jasa.
Dalam ekonomi modern uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pemberian barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran dan sebagainya.

B. PENGERTIAN UANG
Pengertian uang secara luas adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran utang atau sebagai alat untuk melakukan pembelian barang dan jasa. Dengan kata lain, bahwa uang merupakan alat yang dapat digunakan dalam melakukan pertukaran baik barang maupun jasa dalam suatu wilayah tertentu saja.
Secara umum uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, akan tetapi juga memiliki fungsi-fungsi lainnya seperti sebagai alat satuan hitung, penimbung kekayaan atau sebagai a;at pencicilan utang. Kemudian uang biasanya hanya dapat dipergunakan dalam satu wilayah tertentu, misalnya negara, karena bisa saja atau mata uang tertentu tidak berlaku di negara lain dan sebaliknya, namun bisa saja satu mata uang negara tertentu berlaku di semua negara seperti mata uang US dolar.
Dalam perekonomian yang semakin moderen seperti sekarang ini uang memainkan pereanan yang sangat penting bagi semua kegiatan masyarakat. Uang sudah merupakan suatu kebutuhan, bahkan uang menjadi salah satu penentu stabilitas dan kemajuan perekonomian di suatu negara. Namun demikian bukan bereati sistem barter sudah lenyap, tetapi masih digunakan untuk tingkat perdagangan tertentu saja seperti perdagangan antarnegara dan di daerah pedesaan.
Untuk memenuhi kebutuhan akan uang, pemerintah negara yang bersangkutan melalui Bank Sentral berhak menciptakan uang, terutama uang kartal. Begitu pula dengan jumlah uang beredar perlu dijaga agar nilai uang tetap stabil. Kemudian kebutuhan akan uang giral biasanya dicetak oleh bank-bank umum, dimana jumlahnya jauh melebihi uang kartal yang beredar. Dalam hal berkaitan dengan uang, maka peranan lembaga keuangan terutama bank sangatlah besar, hal ini sesuai dengan fungsi lembaga keuangan, yaitu sebagai perantara keuangan di masyarakat.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya uang antara lain:
1. Mempermudah untuk memperoleh dan memilih barang dan jasa yang diinginkan secara tepat;
2. Memperoleh dalam menentukan nilai (harga) dari barang dan jasa;
3. Memperlancar proses perdangan secra luas;
4. Digunakan sebagai tempat menimbun kekayaan.
C. SYARAT UANG
Kriteria sesuatu agar dapat dikatakan sebagai uang haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Ada jaminan
Setiap uang yang terbit dijamin oleh pemerintah negara tertentu. Dengan adanya jaminan dari pemerintah tertentu, maka kepercayaan untuk menggunakan uang untuk berbagai keperluan mendapat kepercayaan dari masyarakat luas. Khususnya uan logam sudah dijamin oleh nilai yang terkandung di dalam uang tersebut. Oleh karena itu, yang perlu jaminan pemerintah adalah uang kertas. Uang jenis ini digunakan hanya berdasarkan kepercayaan (fiat money).
2. Disukai umum
Artinya uang harus dapat diterima secara umum penggunaannya apakah sebagai alat tukar, penimbun kekayaan atau sebagai standar pencicilan utang. Oleh karenaitu, fungsi uang disini tidak hanya sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai alat untuk menimbung kekayaan atau sebagai standar pencicilan utang.
3. Nilai yang stabil
Nilai uang harus memiliki kestabilan dan ketetapan serta diusahakan fluktuasinya sekecil mungkin. Apabila nilai uang sering mengalami ketidakstabilan, maka sulit untuk dipercaya oleh yang menggunakannya.
4. Mudah disimpan
Uang harus mudah disimpan diberbagai tempat termasuk dalam tempat yang kecil namun dalam jumlah yang besar. Artinya uang haris memiliki fleksibilitas, seperti bentuk fisiknya yang tidak terlalu besar, mudah dilipat dan terdapat nominal mulai dari yang kecil sampai nominal yang maksimal.
5. Mudah dibawa
Uang harus mudah dibawah ke mana pun dengan kata lain mudah untuk dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainatau dari satu tangan ke tangan yang lain dengan fisik kecil dan nominal besar sekalipun. Uang sebaiknya mudah dibawa untuk keperluan sehari-hari. Oleh karena itu, dalam hal ini fisik uang juga jangan terlalu besar dan diusahakan seringan mungkin.
6. Tidak mudah rusak
Uang hendaknya tidak mudah rusak dalam berbagai kondisi, baik robek atau luntur terutama kondisi fisiknya mengingat frekuensi pemindahan uang dari satu tangan ke tangan lainnya demikian besar. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah kualitas fisik uang harus benar-benar dijaga dan terjamin kualitasnya sehingga uang dapat dipergunakan untuk waktu yang relatif lama.
7. Mudah dibagi
Uang mudah dibagi ke dalam satuan unit tertentu dengan berbagai nominal yang ada guna kelancaran dalam melakukan tranksaksi, mulai dari nominal keci sampai dengan nominal yang besar sekalipun dan harus juga mudah dalam pembulatan kelipatan tertentu, terutama dalam nilai bulat.
8. Suplai harus elastis
Agar perdagangan dan usaha menjadi lancar jumlah uang yang beredar di masyarakat haruslah mencukupi. Tersedianya uang dalam jumlah yang cukup disesuaikan dengan kondisi usaha atau kondisi perekonomian suatu wilayah. Apabila dalam dunia usaha terjadi kekurangan uang maka berakibat kurang baik demikian pula sebaliknya apabila jumlah uang melebihi dari jumlah yang dibutuhkan. Oleh karena itu, jumlah uang harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Artinya apabila terjadi kekurangan atau kelebihan dengan cepat dapat diatasi sehingga aktivitas masyarakat dalam berbagai hal yang berhubungan dengan uang.
D. FUNGSI UANG
Fungsi-fungsi dari uang secara umum yang ada dewasa ini adalah sebagai berikut:
1. Alat tukar menukar
Dalam hal ini uang dapat digunakan sebagai alat untuk membeli atau menjual suatu barang maupun jasa. Dengan kata lain, uang dapat dilakukan untuk membayar terhadap barang yang akan dibeli atau diterima sebagai akibat dari penjualan barang dan jasa. Maksudnya penggunaan uang sebagai alat tukar dapat dilakukan terhadap segala jenis barang dan jasa yang ditawarkan.
Satuan hitung Besar kecilnay nilai yang dijadikan sebagai satuan hitung dalam menentukan harga barang dan jasa secara mudah. Dengan adanya uang akan mempermudah keseragaman dalam satuan hitung.
2. penimbun kekayaan
Dengan menyimpan uang berarti kita menyimpan atau menimbun kekayaan sejumlah uang yang disimpan, karena nilai uang tersebut tidak akan nerubah. Uang yang disimpan menjadi kekayaan dapat berupa uang tunai atau uang yang dismpan di bank dalam bentuk rekening. Menyimpan atau memegan uang tunai disamping sebagai penimbun kekayaan juga memberikan manfaat lainnya. Memegang uang tunai biasanya memiliki beberapa tujuan seperti untuk memudahkan melakukan transaksi, berjaga-jaga atau melakukan spekulasi. Kemudian dengan menyimpan uang di bank justru akan menambah kekayaan karena akan memperoleh uang jasa berupa bunga.
3. Standar pencicilan utang
Dengan adanya uang akan mempermudah menentukan standar pencicilan utang-piutang secara tepat dan cepat, baik secara tunai maupun secara angsuran. Begitu pula dengan adanya uang, secara mudah dapat ditentukan berapa besar nilai utang-piutang yang harus dibayar sekarang atau di masa yang akan datang.
E. JENIS-JENIS UANG
Adapun jenis-jenis uang yang dapat dilihat dari berbagai sisi adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan bahan
Jika dilihat dari bahan untuk membuat uang maka jenis uang terdiri dari dua macam yaitu:
a. Uang logam, merupakan uang dalam bentuk koin yang terbuat dari logam, baik dari almunium, kupronikel, bronze, emas, perak, atau perunggu dan bahan lainnya.
b. Uang kertas, merupakan uang yang bahannya terbuat dari kertas atau bahan lainnya.
2. Berdasarkan nilai
Jenis uang ini dilihat dari nilai yang terkandung pada uang tersebut, apakah nilai intriksiknya (bahan uang), atau nilai nominalnya (nilai dan yang tertera dalam uang tersebut). Uang jenis ini terbagi ke dalam dua jenis yaitu:
a. Bernilai penuh (full bodied money), merupakan uang yang nilai intrinsiknya sama dengan nilai nominalnya, sebagai contoh uang logam, dimana nilai bahan untuk membuat uang tersebut sama dengan nominal yang tertulis di uang;
b. Tidak bernilai penuh (representatif full bodied money), merupakan uang yang nilai intrinsiknya lebih kecil dari nilai nominalnya.
3. Berdasrkan lembaga
Berdasarkan lembaga maksudnya adalah badan atau lembaga yang menerbitkan atau mengeluaarkan uang. Jenis uang yang diterbitkakn berdasarkan lembaga terdiri dari:
a. Uang kartal, merupakan uang yang diterbitkan oleh bank sentral baik uang logam maupun uang kertas.
b. Uang giral, merupakan uang yang diterbitkan bank umum seperti cek, bilyet giro, traveller cheque, dan credit card.
Perbedaan nyata dari kedua jenis uang ini adalah sebagai berikut:
a. Uang kartal berlaku dan digunakan di seluruh lapisan masyarakat, sedangkan uang giral hanya digunakan dan berlaku di kalangan masyarakat tertentu saja.
b. Nominal dan uang kartal sudah tertera dan terbatas, ssedangkan dalam uang giral harus ditulis lebih dahulu sesuai dengan kebutuhan dan nominalnya tidak terbatas.
c. Uang kartal dijamin oleh pemerintah tertentu, sedangkan uang giral hanya dijamin oleh bank yang mengeluarkan saja.
d. Uang kartal ada kepastian pembayaran seperti yang tertera dalam nominal uang, sedangkan uang giral belum ada kepastian pembayaran, hal ini tergantung dari beberapa hal termasuk lembaga yang mengeluarkannya.
4. Berdasarkan kawasan
Uang jenis ini dilihat dari daerah atau wilayah berlakunya suatu uang. Artinya, bisa saja suatu jenis mata uang hanya berlaku dalam satu wilayah teremtu dan tidak berlaku di daerah lainnya atau berlaku diseluruh wilayah. Jenis uang berdasarkan kawasan adalah sebagai berikut.
a. Uang lokal, merupakan uang yang berlaku di suatu negara tertentu, seperti rupiah di Indonesia atau ringgit di Malaysia.
b. Uang regional, merupakan uang yang berlaku di kawasan yang lebih luas dari uang lokal, seperti untuk kawasan benua eropa berlaku mata uang tunggal eropa yaitu EURO.
c. Uang iternasional, merupakan uang yang berlaku antarnegara seperti US Dollar dan menjadi standar pembayaran internasional.
F. PERANAN UANG
Dalam masyarakat yang primitif belum terdapat pembagian kerja sedangkan pada tingkat yang lebih maju di mana dalam masyarakat sudah dilakukan tukar menukar, telah mulai adanya spesialisasi pekerjaan. Tidak seluruh kebutuhan harus diproduksikan oleh masing-masing individu dalam masyarakat, sebagaimana pada masyarakat yang masih primitif. Dengan adanya uang telah memungkinkan terlaksananya pembagian kerja yang lebih sempurna seperti yang kita temui sekarang ini. Dalam masyarakat yang sudah biasa mempergunakan uang sebagai alat penular, hampir tidak ada lagi seseorang yang menghasilkan sesuatu barang dari proses produksi yang pertama hingga menjadi barang jadi. Tiap tahap proses produksi yang tertentu dikerjakan oleh orang atau bagian khusus sehingga pembaagian kerja (biasanya melalui sistem berjalan) akan mempermudah pekerjaan dan melipat gandakan hasil produksi. Tampa adanya uang yang berfungsi sebagai alat penukar, kiranya tidaklah mungkin pembagian kerja dapat berjalan.
Pada dasarnya, uang mempunya peranan penting di dalam perekonomian atau terutama di dalam produksi, dalam pertukaran dan konsumsi, pada masyarakat. Dengan terciptanya spesialisasi yang jauh, hasil produksi semakin berlipat ganda jika dibandingkan dengan keadaan dimana orang-orang masih melakukan pekerjaan yang beraneka ragam. Dengan demikian uang bukan saja telah memungkinkan terciptanya spesialisasi, tapi juga memberikan peranannya terhadap arah produksi dan arah konsumpsi serta aktivitas ekonomi. Apabila harga suatu barang meningkat, baik karena turunnya nilai uang maupun karena sebab yang lain, konsumen akan merubah arah permintaannya terhadap barang-barabg atau jasa yang masih dalam kesanggupan tenaga belinya.
G. SEJARAH JENIS-JENIS UANG DI INDONESIA
Perkembangan jenis mata uang yang beredar di indonesia setelah kemerdakaan 1945 beragam, hal ini tentu tudak terlepas dari kondisi dan situasi yang penuh gejola pascakemerdekaan tersebut.namun, setelah ahun 1951 dengan berlakunya hukum darurat No. 20 Tahun 27 September 1951 ditetapkan alat pembayaran yang sah, kecuali irian barat, adalah rupiah. Kemidian diperkuat lagi dengan keluarnya undang-undang pokok perbankan No. 13 Tahun 1968 yang menetapkan satuan hitung uang indonesia adalah rupiah dan disingkat Rp.
Adapun jenis-jenis mata uang sebelum keluarnya peraturan dan undang-undang di atas sebagai berikut:
1. ORI
ORI atau uang republik Indonesia yang berlaku hanya di pulau Jawa saja, di samping ada mata uang lainnya.
2. URIDAB
URIDAP yaitu uang republik Indonesia hanya di daerah Banten.
3. URIPS
URIPS, uang republik Indonesia provinsi Sumatra yang berlaku di sebagian pulau Sumatra hal ini disebabkan ada beberapa mata uang yang berlaku di Sumatra.
4. URITA
URITA, yaitu uang republik Indonesia Tapanuli yang berlaku di daerah Tapanuli saja.
5. URIPSU
URIPSU, yaitu uang republik Indonesia provinsi Sumatra Utara yang berlaku di provinsi Sumatra Utara.
4.
Fungsi uang uang sebagai satuan hitung menunjukkan nilai darii barang dan jasa yang dijual atau dibeli. URIBA
URIBA, yaitu uang republik Indonesia baru Aceh yang berlaku di daerah Aceh.
6. UDMP
UDMP, yaitu uang Dewan Mandar I Palembang yang berlaku di Palembang.




BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagai uraian pembahasan di atas maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengertian uang secara luas adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayaran utang atau sebagai alat untuk melakukan pembelian barang dan jasa.
2. Kriteria sesuatu agar dapat dikatakan sebagai uang haruslah memenuhi persyaratan yaitu Ada jaminan, disukai umum, nilai yang stabilmudah disimpan, mudah dibawa, tidak mudah rusak, mudah dibagi, dan suplai harus elastis.
3. Fungsi-fungsi dari uang secara umum yang ada dewasa ini yaitu alat tukar menukar, satuan hitung, penimbun kekayaan, dan standar pencicilan utang.
a. Uang iternasional, merupakan uang yang berlaku antarnegara seperti US Dollar dan menjadi standar pembayaran internasional.



DAFTAR PUSTAKA
Kasmir. 2008. Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Raharja, Prathama. 1989. Uang dan Perbangkan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Triandaru, Sigit dan Totok budisantoso. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Lainny. Jakarta: Salemba Empat.

Rabu, 23 Juni 2010

dasar-dasar filsafat

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Penafsiran-penafsiran itu seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terhadap dunia keilmuwanl, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga pada ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humanities, telah mengakibatkan krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.
Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pembahasan tentang materialisme dan fenomenologi. Dimana membahas tentang pemikiran tentang marerialisme dan macam-macam materialisme itu sendiri, dan juga akn membahas tentang hakekat fenomenologi, kemudian cara kerja pendekatan fenomenologi, selanjutnya kontribusi fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan, dan terakhir kritik terhadap fenomenologi.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian materialisme
2. Tokoh-tokoh pemikir materialisme
3. Macam-macam materialisme
4. Pengertian fenomenologis
5. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
6. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
7. Kritikan terhadap Fenomenologi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Materialisme
1. Pengertian materialisme
Materialisme adalah paham filsafat yang meyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat material atau fisik. Ciri utama dari kenyataan fisik atau material adalah bahwa ia menempati ruang dan waktu, memiliki keluasan dan bersifat objektif. Karena menempati ruang dan waktu serta bersifat objektif, maka ia bisa diukur,dikuantifikasi (dihitung), diobservasi. Alam spiritual atau jiwa, yang ada menempati ruang, tidak bisa disebut esensi kenyataan, dan oleh karena itu ditolak keberadaannya.
Materialisme adalah asal atau hakikat dari segala sesuatu, dimana asal atau hakikat dari segala sesuatu ialah materi. Karena itu materialism mempersoalkan metafisika, namun metafisikanya adalah metafisika materialisme. Materialisme adalah merupakan istilah dalam filsafat ontology yang menekankan keunggulan faktor-faktor material atas spiritual dalam metafisika, teorinilai, fisiologi, efistemologi, atau penjelasan historis. Maksudnya, suatu keyakinan bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pada sisi ekstrem yang lain, materialismea dalah sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa pikiran( roh, kesadaran, danjiwa ) hanyalah materi yang sedang bergerak. Materi dan alam semesta sama sekali tidak memiliki karakteristik-karakteristik pikiran dan tidak ada entitas-entitas nonmaterial. Realitas satu-satunya adalah materi. Setiap perubahan bersebab materi atau natura dan dunia fisik.
2. Tokoh-tokoh pemikir materialism
a. Karl Marx (1818-1883)
Marx lahir di Trier Jerman pada tahun 1818. ayahnya merupakan seorang Yahudi dan pengacara yang cukup berada, dania masuk Protestanketika Marx berusia enam tahun. Setelah dewasa Marx melanjutkan studinya keuniversitas di Bonn, kemudian Berlin. Ia memperoleh gelar doctor dengan desertasinya tentang filsafat Epicurus dan Demoktirus. Kemudian, ia pun menjadi pengikut Hegelian sayap kiri dan pengikut Feurbach. Dalam usia dua puluh empat tahun, Marx menjadi redaktur Koran Rheinich Zeitung yang dibrendel pemerintahannya karena dianggap revolusioner. Setelah ia menikah dengan Jenny Von Westphalen (1843) ia pergi ke Paris dan disinilah ia bertemu dengan F.Engels dan bersahabat dengannya. Tahun 1847, Marx dan Engels bergabung dengan Liga Komunis, dan atas permintaan ligakomunis inilah, mereka mencetuskan Manifesto Komunis (1848). Dasar filsafat Marx adalah bahwa setiap zaman, system produksi merupakan hal yang fundamental. Yang menjadi persoalan bukan cita-cita politik atau teologi yang berlebihan, melainkansuatu system produksi. Sejarah merupakan suatu perjuangan kelas, perjuangan kelas yang tertindas melawan kelas yang berkuasa.Pada waktu itu Eropa disebut kelas borjuis. Pada puncaknya dari sejarah ialah suatu masyarakat yang tidakberkelas, yang menurut Marx adalah masyarakat komunis. Pandangan Marx tentang agama, sama seperti halnya Feurbech, yang memandang agama sebagai proyeksi kehendak manusia. Perasaan atau gagasan keagamaan merupakan hasil kemauan suatu masyarakat tertentu, yang berada di dunia sekarang ini. Agama dihasilkan oleh masyarakat, oleh Negara, oleh perorangan, bukan berasal dari dunia ghaib. Pandangan ini terutama yang paling bertentangan dengan ajaran Pancasila.
b. Thomas Hobbes (1588-1679 M).
Menurut Thomas Hobbes materialism menyangkal adanya jiwa atau roh karena keduanya hanyalah pancaran dari materi. Dapat dikatakan juga bahwa materialism menyangkal adanya ruang mutlak lepas dari barang-barang material.
c. Hornby (1974)
Menurut Hornby materialism adalah theory, belief, that only material thing exist (teori atau kepercayaan bahwa yang ada hanyalah benda-benda material saja).Sebagian ahli lain mengatakan bahwa materialism adalah kepercayaan bahwa yang ada hanyalah materi dalam gerak. Juga dikatakan kepercayaan bahwa pikiran memang ada, tetapi adanya pikiran disebabkan perubahan-perubahan materi. Materialisme juga berarti bahwa materi dan alam semesta tidak memiliki karakteristik pikiran, seperti tujuan, kesadaran, niat, tujuan, makna, arah, kecerdasan, kemauan atau upaya. Jadi, materialism tidak mengakui adanya entitas nonmaterial, seperti roh, hantu, malaikat. Materialisme juga tidak mempercayai adanya Tuhan atau alam supranatural. Oleh sebab itu, penganut aturan ini menganggap bahwa satu-satunya realitas yang ada hanyalah materi. Segala perubahan yang tercipta pada dasarnya berkausa material. Pada ekselasi material menjadi suatu keniscayaan pada being of phenomena. Pada akhirnya dinyatakan bahwa materi dan segala perubahannya bersifat abadi.
d. Van Der Welj (2000)
Van Der Welj mengatakan bahwa materialism dengan menyatakan bahwa materialism ini terdiri atas suatu aglomerasi atom-atom yang dikuasai oleh hukum-hukum fisika-kimiawi. Bahkan, terbentuknya manusia sangat dimungkinkan berasal dari himpunan atom-atom tertinggi. Apa yang dikatakan kesadaran, jiwa, atau roh sebenarnya hanya setumpuk fungsi kegiatan dari otak yang bersifat sangat organik-materialistis.
3. Macam-MacamMaterialisme :
a. Materialisme rasionalistik. Materialisme rasionalistik menyatakan bahwa seluruh realitas dapat dimengerti seluruhnya berdasarkan ukuran dan bilangan (jumlah);
b. Materialisme mitis atau biologis. Materialisme mitis atau biologis ini menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa material terdapat misteri yang mengungguli manusia. Misteri itu tidak berkaitan dengan prinsip immaterial.
c. Materialisme parsial. Materialisme parsial ini menyatakan bahwa pada sesuatu yang material tidak tedapat karakteristik khusus unsur imm aterial atau formal;
d. Materialisme antropologis. Materialisme antropologi sini menyatakan bahwa jiwa itu tidak ada karena yang dinamakan jiwa pada dasarnya hanyalah materi atau perubahan-perubahan fisik-kimiawi materi;
e. Materialisme dialektik. Materialisme dialektik ini menyatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari materi. Berarti bahwa tiap-tiap benda atau kejadian dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses material. Salah satu prinsif di materialism dialektik adalah bahwa perubahan dalam kuantitas. Oleh karena itu, perubahan dalam materi dapat menimbulkan perubahan dalam kehidupan, atau dengan kata lain kehidupan berasal dari materi yang mati. Semua makhluk hidup termasuk manusia berasal dari materi yang mati, dengan proses perkembangan yang terus-menerus ia menjadi materi yang memiliki kehidupan. Oleh karena itu kalau manusia mati, ia akan kembali kepada materi, tidak ada yang disebut dengan kehidupan rohaniah. Ciri-ciri materialism dialektik mempunyai asas-asas, yaitu :
1. Asas gerak;
2. Asas saling berhubungan;
3. Asas perubahan dari kuantitatif menjadi kualitatif;
4. Asaskontradiksi intern.
f. Materialisme historis. Materialisme histories ini menyatakan bahwa hakikat sejarah terjadi karena proses-proses ekonomis. Materialisme dialektik dan materialisme histories secara bersamaan menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang menyangkut sejarah rohani dan perkembangan manusia hanya merupakan dampak dan refleksi-refleksi aktivitas ekonomis manusia. Materialisme historis ini berdasarkan dialektik, maka semua asas materialism dialektik berlaku sepenuhnya dalam materialisme histories.
g. Materialisme sebagai teori menyangkal realitas yang bersifat ruhaniah, sedangkan materialism metode mencoba membuat abstraksi hal-hal yang bersifat imaterial.
B. Fenomenologisme
1. Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition).
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.
Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.
Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.
2. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadara.
3. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu. Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.
4. Kritik Terhadap Fenomenologi
Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Matarialisme adalah paham filsafat yang meyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat material atau fisik. Ciri utama dari kenyataan fisik atau material adalah bahwa ia menempati ruang dan waktu, memiliki keluasan dan bersifat objektif. Karena menempati ruang dan waktu serta bersifat objektif, maka ia bisa diukur,dikuantifikasi (dihitung), diobservasi. Alam spiritual atau jiwa, yang ada menempati ruang, tidak bisa disebut esensi kenyataan, dan oleh karena itu ditolak keberadaannya.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.
Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan ‘prinsip’ ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, yang dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: “The scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. A ccurate observation and dependence upon experiments are guiding principles.”





DAFTAR PUSTAKA
Gazalba, Sidi. 1996. Sistematika Filsafat. Jakarta: PT. BulanBintang
Praja, juhaya s. 2006. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Bandung: Yayasan PIARA (Pengembangan Ilmu Agama dan Humaniora).
Bakhtiar, Amsal.1999. Filsafat Agama. Jakarta: Logos WacanaIlmu.
Rozak, Abdul. 2002. FilsafatUmum. Bandung: Gema Media Pusakatama
Adian, Donny Gahral, 2001. Matinya Metafisika Barat. Jakarta: Komunitas Bambu.

Jumat, 04 Juni 2010

ilmu-ilmu hadis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan, serta bagaimana caranya berhubungan dengan sesama mahluk, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Perkembangan selanjutnya, dalam mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan kehendak Allah Swt.. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Allah Swt. mengutus para nabi dan rasul-Nya kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar agar mereka bahagia dunia dan akhirat. Rasulullah lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar. Hukum Syara’ adalah khitab Syari’ (seruan Allah sebagai pembuat hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti Al-Qur’an dan Hadits.
Dengan latar belakang di atas maka penulis mencoba memaparkan tentang “Kedudukan dan Fungsi Hadits”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tadi, maka yang akan kami bahas adalah:
1. Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam?
2. Bagaimana fungsi hadits terhadap al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hadits sebagai Sumber Hukum Islam
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum syariat Islam yang tetap. Orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada dua sumber hukum Islam tersebut atau hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Qur’an yang wajib diiikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Beberapa faktor yang mendukung pernyataan ini adalah:
1. Dalil al-Qur’an
Banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Di antara ayat-ayat dimaksud adalah Q. S. Ali Imran (3): 179:
•                                       
Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, Maka bagimu pahala yang besar.
Ayat di atas menekankan pemisahan yang dilakukan oleh Allah Swt. antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat keimanan mereka. Oleh karena itu oranng mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Selain Allah memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasullullah Saw., juga menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasullullah Saw. ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah Swt.. Ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah ini antaranya:
       •     
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Q. S. Ali‘Imran: 32)
Dalam firman-Nya yang lain:
                              
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q. S. al- Nisa’: 59)
Kemudian Allah Swt. juga berfirman:
         •   •    
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya. (Q. S. Al- Hasyr: 7)
     
Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. (Q. S. al-Maidah: 59)
             •             
Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". (Q. S. al-Nur: 54)
Dari beberapa ayat al-Qur’an di atas, tergambar bahwa setiap ada perintrah taat kepada Allah Swt. dalam al-Qur’an selalu diiringi dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula peringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah, sering disejajarkan dengan ancaman durhaka kepada Rasulullah Saw.
Bentuk-bentuk seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan penetapan kewajiban taat kepada semua yang disampaikan Pasulullah Saw.. Cara-cara penyajian Allah Swt. seperti ini hanya diketahui oleh orang-orang yang menguasai bahasa Arab dan memahami ungkapan-ungkapan serta pemikiran-pemikkiran yang terkandung di dalamnya, yang akan member masukan dalam memahami maksud ayat tersebut.
Dari sinilah sebetulnya dapat dinyatakan bahwa ungkapan wajib taat kepada Rasulullah Saw. dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat Islam.
2. Dalil al-Hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah Saw. berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, di samping al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:

Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh [ada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. (H. R. Malik)
Dalam hadits lain, Rasul bersabda:


Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa ar-Rasyidin (Khalifah yang mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya. (H. R. Abu Daud dan Ibnu Majah)
3. Kesepakatan Ulama
Ulama Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah stu dasar hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap al-Qur’an.
Kesepakatan uamat Muslim dalam memercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak rasulullah masih hidup. Peristiwa yang menunjukkan hal ini antara lain:
a. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi Khalifah, ia pberkata, “Saya tidak meninggalakan sedikitpun sesuatu yang diamalakan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad, ia berkata, “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.
c. Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa ‘Usman bin ‘Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah Saw., saya makan sebagaimana makannya Rasulullah, dan saya salat sebagaimana salatnya Rasulullah”.
4. Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad Saw. telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalm mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah Swt., baik isi maupun ofrmulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Allah Swt.. namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahtu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang manasakhnya.
Bila kerasulan Nabi Muhammad telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undanan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Di samping itu, secara logika, kepercayaan kepada Rasulullah Saw. sebagai rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.

B. Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Allah Swt. menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an dapat dipahami oleh manusia, maka rasulullah Saw. diperintahka untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadits-haditsnya. Oleh karena itu, fungsi hadits Rasulullah Saw. sebagai penjelas (bayan) al-Qur’an itu bermacam-macam. Untuk lebih jelasnya, yaitu:
1. Bayan al-Taqrir
Bayan al-taqrir (bayan al-ta’kid atau bayan al-itsbat) ialah menetapkan dan meperkuat apa yang telah diterangkan di dalm al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh kandungan al-Qur’an. Contoh hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar:

“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulann, maka nerpuasalah, juga apabila meelihat (ru’yah) itu maka berbukalah”. (H. R. Muslim)
Hadits ini dating men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini:
     
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu….(Q. S. al-Baqarah: 185)
Contoh lain, hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi:


“Rasulillah Saw. telah bersabda: “Tidak diterima salat seseorang yang berhadats sebelum ia berwudu”. (H. R. Bukhari)
Hadits ini men0taqrir Q. S. al-Maidah: 6 menegnai keharusan berwudu ketika seseorang akan mendirikan salat. Ayat dimaksud berbunyi:
                
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki….
2. Bayan al-Tafsir
Bayan al-tafsir adalah kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan salat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qhiasas, hudud dan sebagainya. Ayat-ayat al-Qur’an tentang masalh ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, atau halangan-halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. melalui haditsnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh:

“Shalatlah sebagaimana engkau meliahat aku salat”. (H. R. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan bagaimana mendirikan salat. Sebab dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan salat adalah:
   •    
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku. (Q. S. al-Baqarah: 43)
Sedangkan contoh hadits yamg membatasi (taqyid) atay-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Rasulullah Saw.:


“Rasulullah Saw. didatangiseseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangannya”.
Hadits ini men-taqyid Q. S. al-Maidah: 38 yang berbunyi:
              
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Contoh lain adalah sabda Rasulullah Saw.:
“Telah dihalalkan bagi kami, dua (macam) bangkai, yaitu bangkai ikan dan belalang”.
Hadits ini mentaqyidkan ayat al-Qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah Swt.:
      
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi…” (Q. S. al-Maidah: 3)
3. Bayan al-Tasyri’
Bayan al-tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja (ashl) saja.
Hadits-hadits Rasulullah Saw. yang termasuk ke dalam kelompok ini, di antaranya hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antar istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Contoh hadits tentang zakat fitrah, sebagai berikut:



“Bahwasanya, Rasulullah Swa. Telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim”. (H. R. Muslim)
Hadits-hadits Rasulullah Saw. yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap (Rasulullah Saw.) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
4. Bayan al-Nasakh
Untuk bayan jenis ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadits sebagai nasikh terhadap sebagian hukum al-Qur’an dan ada juga yang menolaknya.
Kata naskh secara bahasa bararti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), itahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Terjadinya naskh ini karana adanya dalil syara yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa berlakunya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan Syari’ (pembuat syari’at) menurunkan bahwa ayat tersebut ttidak berlaku lagi untuk selama-lamanya (temporal) karena ketentuan yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansa saat itu.
Salah satu contoh yang biasa diajukan para ulama ialah hadits yang berbunyi:

“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits tersebut menurut mereka menasakh isi firman allah Swt.:
        •         
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q. S. al-Baqarah: 180)













BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam didukkung oleh beberapa hal:
a. Dalil al-Qur’an.
b. Dalil al-Hadits.
c. Kesepakatan ulama (ijma’)
d. Kesesuaian dengan petunjuk akal.
2. Fungsi hadits terhadap al-Qur’an sebagai penjelas (bayan) dapat dibagi atas:
a. Bayan al-taqrir.
b. Bayan al-tafsir.
c. Bayan al-tasyri’.
d. Bayan al-nasakh.

B. Saran
Dengan hadirnya makalah ini, kami harap dapat memberi informasi mengenai kedudukan hadits dan lebih lanjut lagi dapat memberi penjelasan mengenai beberapa perbedaan pendapat menegnai hadits itu sendiri.

Selasa, 01 Juni 2010

Konsep Uang dalam Ekonomi Islam

Konsep Uang dalam Ekonomi Islam
Kesalahan besar ekonomi konvensional ialah menjadikan uang sebagai komoditas, sehingga keberadaan uang saat ini lebih banyak diperdagangkan daripada digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Lembaga perbankan konvensional juga menjadikan uang sebagai komoditas dalam proses pemberian kredit. Instrumen yang digunakan adalah bunga (interest). Uang yang memakai instrumen bunga telah menjadi lahan spekulasi empuk bagi banyak orang di muka bumi ini. Kesalahan konsepsi itu berakibat fatal terhadap krisis hebat dalam perekonomian sepanjang sejarah, khususnya sejak awal abad 20 sampai sekarang. Ekonomi berbagai negara di belahan bumi ini tidak pernah lepas dari terpaan krisis dan ancaman krisis berikutnya pasti akan terjadi lagi.
Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjualbelikan seperti sekarang ini. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara.
Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai’ al muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman, Rasulullah Saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan - kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.
Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.
Dari Abu Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah saw membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Kurma dari mana ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya. Karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka bersabda Rasulullah SAW, lnilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.” (H.R Bukhari Muslim).
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi Saw memerintahkan agar menjuall kurma (yang kurang bagus) terlebih dahulu, kemudian uang penjualan itu digunakan untuk membeli kurma yang berkualitas bagus tadi. Jadi Nabi saw melarang menukar secara langsung 2 sha’ kurma kurang bagus dengan 1 sha’ kurma yang berkualitas bagus.
Rasulullah Saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter, karena itu beliau menganjurkan penggunaan uang sebagai alat tukar.
Sementara itu, menurut Dr. Rif at al-‘Audi, dalam bukunya Min al-Turats al-Iqtishad li al-Muslimin, bahwa uang merupakan konsep aliran (flow concept) yaitu yang tidak bisa dijadikan komoditas , sedangkan capital bersifat konsep persediaan (stock concept). Dalam ekonomi konvensional terdapat beberapa pengertian seperti yang diungkapkan oleh Frederick Mishkin dalam bukunya Economiss of Money, Banking and Financial Institutionas.
Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan istilah—time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada bayar tunai. Yang lebih menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak Penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak Penjual untuk makan malam tertahan pada pembeli. Alasan Inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi Kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan harga tangguh lebih tinggi dari pada harga tunai. Adapun motif permintaan akan uang—dalam Islam—adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction).
Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang tentunya membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan bunga atas harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal atau dibiarkan tidak produktif dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang yang beredar dimasyarakat.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan uang merupakan alat-tukar yang meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar-menukar, sebab uang itu berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum. Dengan redaksi lain bahwa uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum diterima sebagai alat penukar. Dalam ekonomi konvensional uang ‘seolah-olah’ dijadikan manusia sebagai, “tuhan”, Dimana masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai alat yang penting dan diletakkan sebagai nomor wahid. Manusia kian berpacu dalam mencari uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang. Bahkan kesenangan seolah-olah dilukiskan dengan memiliki uang. Hal ini yang memacu ekonomi konvensional sebab memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of value / wealth. Lain halnya dimensi ekonomi Islam bahwa uang merupakan segala sesuatu yang umum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of exchange) bukan sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth / value).
Banyak lagi perbedaan yang prinsipil di antara kedua konsep ekonomi tersebut, antara lain : bahwa menurut Islam uang adalah public good, sedangkan dalam ekonomi konvensional adalah private goods. Uang sebagai public good, berarti bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena itu uang harus beredar di dalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun (iktinaz); uang tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam bisnis riil, seperti melalui investasi mudharabah atau musyarakah. Uang yang ditimbun akan membuat perekonomian lesu darah. Karena itu Imam Ghazali melarang menjadikan uang dinar dan dirham menjadi perhiasaan, karena menjadikannya sebagai perhiasaan berarti menarik uang dari peredaran dan memenjarakan uang. Bila uang terpenjara, itu berakibat buruk bagi perekonomian. Jadi, menurut ekonomi Islam, uang adalah flow concept, bukan stock concept sebagaimana dalam ekonomi konvensional.
Dalam Islam, uang bagaikan air yang mengalir. Air yang tidak mengalir akan menimbulkan penyakit. Untuk itulah uang harus senantiasa terus berputar secara alami dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka akan semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik perekonomian. Bagi mereka yang tidap dapat men3gaktifkan hartanya, ‘lagi-lagi’ Islam sangat menganjurkan untuk melakukan investasi dengan perinsip mudharabah atau musyarakah. Dalam hal ini Nabi bersabda, Ketahuilah, Siapa saja di antara kamu yang memelihara harta anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki uang (dinar-dirham), maka bisniskanlah, jangan dibiarkan idle, sehingga nanti uang itu habis dimakan sedeqah/zakat (Penulis adalah Sekjend Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI dan Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti)










Konsep Uang dan Modal dalam Islam

Ikhwan Abidin Basri (Pembantu Ketua STEI Tazkia)
Uang kertas yang lazim digunakan di zaman sekarang disebut fiat money. Dinamakan demikian karena kemampuan uang untuk berfungsi sebagai alat tukar dan memiliki daya beli tidak disebabkan karena uang tersebut dilatarbelakangi oleh emas.
Dulu uang memang mengikuti standar emas (gold standard). Namun rezim ini telah lama ditinggalkan oleh perekonomian dunia pada pertengahan dasa warsa 1930-an (Inggris meninggalkannya pada tahun 1931 dan seluruh dunia telah meninggalkannya pada tahun 1976). Kini uang kertas menjadi alat tukar karena pemerintah menetapkannya sebagai alat tukar. Sekiranya pemerintah mencabut keputusannya dan menggunakan uang dari jenis lain, niscaya uang kertas tidak akan memiliki nilai sama sekali.

Banyak kalangan yang ragu-ragu atau bahkan tidak tahu hukum uang kertas ditinjau dari sisi syariah. Ada yang berpendapat bahwa uang kertas tidak berlaku riba, sehingga kalau orang berutang Rp. 100.000,00 kemudian mengembalikan kepada pengutang sebanyak Rp. 120.000,00 dalam tempo tiga bulan, maka tidak termasuk riba. Mereka beranggapan bahwa yang berlaku pada zaman Nabi SAW adalah uang emas dan perak dan yang diharamkan tukar-menukar dengan kelebihan adalah emas dan perak, karena itu uang kertas tidak berlaku hukum riba padanya. Jawabannya dapat kita cari dari penjelasan yang lalu bahwa mata uang bisa dibuat dari benda apa saja, termasuk kulit unta, kata Umar bin Khattab. Ketika benda itu ditetapkan sebagai mata uang sah, maka barang itu berubah fungsinya dari barang biasa menjadi alat tukar dengan segala fungsi turunannya. Jumhur ulama sepakat bahwa illat dalam emas dan perak yang diharamkan pertukarannya kecuali serupa dengan serupa, sama dengan sama, oleh Rasulullah SAW adalah karena “tsumuniyyah” , yaitu barang-barang tersebut menjadi alat tukar, penyimpan nilai di mana semua barang ditimbang dan dinilai dengan nilainya.

Karena uang kertas secara de facto dan de jure telah menjadi alat pembayaran sah, sekalipun tidak dilatarbelakangi lagi oleh emas, maka kedudukannya dalam hukum sama dengan kedudukan emas dan perak yang pada waktu Alquran diturunkan merupakan alat pembayaran yang sah. Karena itu riba belaku pada uang kertas. Uang kertas juga diakui sebagai harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakat dari padanya. Zakatpun sah dikeluarkan dalam bentuk uang kertas. Begitu pula ia dapat dipergunakan sebagai alat untuk membayar mahar.

Modal dalam Perspektif Islam

Modal yang dalam bahasa Inggrisnya disebut capital mengandung arti barang yang dihasilkan oleh alam atau buatan manusia, yang diperlukan bukan untuk memenuhi secara langsung keinginan manusia tetapi untuk membantu memproduksi barang lain yang nantinya akan dapat memenuhi kebutuhan manusia secara langsung dan menghasilkan keuntungan (Lihat, William N. Loucks and J. Weldon Hoot, Lihat, William N. Loucks and J. Weldon Hoot, Comparative Economic Systems, hal. 19 Comparative Economic Systems Lihat, William N. Loucks and J. Weldon Hoot, Comparative Economic Systems, hal. 19, hal. 19). Secara fisik terdapat dua jenis modal yaitu fixed capital dan circulating capital. Fixed capital seperti gedung-gedung, mesin-mesin atau pabrik-pabrik,; yaitu benda-benda yang ketika manfaatnya dinikmati tidak berkurang eksistensi substansinya. Adapun circulating capital seperti: bahan baku dan uang ketika manfaatnya dinikmati, substansinya juga hilang. Perbedaan keduanya dalam syariah dapat kita lihat sebagai berikut. Modal tetap pada umumnya dapat disewakan, tetapi tidak dapat dipinjamkan (qardh). Sedangkan modal sirkulasi yang bersifat konsumtif bisa dipinjamkan (qardh) tetapi tidak dapat disewakan. Hal itu karena ijarah dalam Islam hanya dapat dilakukan pada benda-benda yang memiliki karakteristik, substansinya dapat dinikmati secara terpisah atau sekaligus. Ketika sebuah barang disewakan, maka manfaat barang tersebut dipisahkan dari yang empunya. Ia kini dinikmati oleh penyewa, namun status kepemilikannya tetap pada si empunya. Ketika masa sewa berakhir, barang itu dikembalikan kepada si empunya dalam keadaan seperti sediakala.

Uang tidak memiliki sifat seperti ini. Ketika seseorang menggunakan uang, maka uang itu habis. Kalau ia menggunakan uang itu dari pinjaman, maka ia menanggung utang sebesar jumlah yang digunakan dan harus mengembalikan dalam jumlah yang sama (mitsl) bukan substansinya (a’in).

Return on Capital

Dari uraian di atas nyatalah bahwa barang modal yang masuk dalam kategori tetap seperti kendaraan, mobil, bangunan, atau kapal akan mendapatkan return on capital dalam bentuk upah sewa jika transaksi yang dipergunakan adalah ijarah. Di samping itu barang-barang modal ini dapat juga mendapatkan return on capital dalam bentuk bagian dari laba (profit) jika transaksi yang dipergunakan adalah musyarakah atas dasar kaidah “Suatu barang yang dapat disewakan, maka barang tersebut dapat dilakukan musyarakah atasnya.” Ini telah dilakukan oleh kaum muslimin dari zaman dulu misalnya dalam transaksi muzara’ah. Dalam akad ini si empunya tanah menyediakan tanah untuk digarap oleh penggarap. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha ini dibagi dua sesuai dengan kesepakatan, misalnya 50:50.

Berbeda dengan fixed capital, circulating capital (dalam hal ini uang) tidak akan mendapatkan return on capital dalam bentuk upah sewa seperti dalam ijarah. Karena uang dalam Islam bukan komoditas yang bisa disewakan atau dijualbelikan dengan kelebihan. Ia dibutuhkan sebagai alat tukar saja. Tetapi ia memiliki return on capital bila dikembangkan dalam bentuk akad mudharabah. Ia juga dapat dipinjamkan (qardh) tetapi tidak diperbolehkan pengembaliannya melebihi pokoknya. Kelebihan demikian masuk dalam kategori riba. Wallahu a’lam bis-Shawab.

Memahami Struktur Karya Tulis Ilmiah

Memahami Struktur Karya Tulis Ilmiah
Menulis makalah? Wah, susah banget! Tapi itulah yang sebenarnya menjadi bagian dari kehidupan akademis di sekolahan maupun di kuliahan. Ya, penulisan makalah sebagai salah satu bentuk karya tulis ilmiah memang sudah disosialisasikan bahkan sejak di bangku sekolah dasar lewat tugas-tugas seperti kliping.
Bagi sebagian besar, tugas menulis karya ilmiah, baik dalam bentuk makalah maupun skripsi, tampaknya menjadi tugas yang berat. Pemilihan topik penelitian, judul makalah, sampai penentuan teori menjadi bagian yang dianggap susah dikerjakan. Tidak heran ketika makalah atau skripsi disusun, beragam perbaikan harus dikerjakan oleh penulisnya.
Memahami struktur sebuah karya ilmiah bisa menjadi cara yang akan menolong penulis dalam menyajikan karya tulisnya. Bila sudah mengenal masing-masing aspeknya, sedikit banyak akan melapangkan alur pemikiran penulis.
Secara umum, sebuah karya tulis ilmiah terbagi dalam tiga bagian besar. Bagian yang dimaksud ialah pendahuluan, isi, dan pembahasan. Meskipun ketiganya merupakan inti dari sebuah karya, tentu saja masih dibutuhkan penyemarak lain, yaitu prakata (bedakan dengan kata pengantar!), daftar isi, daftar tabel/skema, bibliografi, dan lampiran. Tentu saja kelengkapan-kelengkapan tersebut tidak semuanya mutlak disertakan. Masing-masing akan dijelaskan di bawah ini.
PENDAHULUAN
Seperti namanya, bagian ini memberikan gambaran mengenai topik penelitian yang hendak disajikan. Aspek-aspek yang biasa disertakan pada bagian ini diuraikan secara sederhana di bawah ini.
a. Latar belakang masalah
Pada bagian ini, penulis harus menguraikan apa yang menjadi ketertarikannya pada objek yang diteliti. Oleh karena itu, kepekaan untuk memerhatikan fenomena-fenomena yang mutakhir di bidang yang sedang ditekuni menjadi kebutuhan. Tidak jarang, sebuah makalah atau skripsi mendapat sambutan hangat karena membahas topik-topik yang sedang hangat.
Satu aspek lain yang perlu dikemukakan pada bagian ini ialah tinjauan pustaka. Peneliti perlu menyertakan beberapa penelitian yang relevan dengan topik yang dikerjakan. Hal ini dilakukan agar memperjelas pembaca bahwa penelitian yang dilakukan bukan mengulangi berbagai penelitian lainnya.
b. Masalah dan batasannya
Dari fenomena yang menarik perhatian, penulis harus secara eksplisit mengemukakan masalah yang hendak dibahas. Sebab pada bagian latar belakang, masalah yang hendak dibahas biasanya tidak dikemukakan secara eksplisit.
Meski demikian, masalah yang hendak dibahas atau diteliti itu masih harus dibatasi lagi. Hal ini dilakukan agar pembahasan tidak meluber luas kepada aspek-aspek yang jauh dari relevan. Selain itu, pembatasan masalah penelitian juga akan menolong dalam hal efektivitas penulisan karya ilmiah.
c. Tujuan dan manfaat
Kemukakan tujuan dan manfaat penelitian yang dikerjakan. Sedapat mungkin dijabarkan keduanya, baik bagi lingkungan akademis maupun masyarakat secara umum.
d. Metode dan Teknik Analisa
Penentuan metode dan teknik menganalisis data juga akan menentukan hasil dari sebuah penelitian. Metode harus dibedakan dari teknik. Mengenai keduanya, Sudaryanto (2001) menyebutkan bahwa metode merupakan cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik merupakan cara melaksanakan metode. Sebagai cara, tambahnya, kejatian teknik ditentukan oleh adanya alat yang dipakai.
Dalam ilmu linguistik, metode penelitian berkisar pada dua metode besar, yaitu metode padan dan agih. Sementara tekniknya ada bermacam-macam. Tidak semua metode perlu dan relevan untuk digunakan dalam menganalisa data penelitian. Oleh karena itu, peneliti perlu berhati-hati dalam menentukan metode dan teknik analisanya. Data penelitian yang diperoleh harus benar-benar dicermati perilakunya.
e. Landasan teori
Sebuah penelitian tentu perlu memiliki dasar teoritis yang kuat. Namun, penulis harus benar-benar teliti menentukan dasar teoritis yang akan mendukung pembedahan masalah. Biasanya, bila sudah mengerti perilaku data yang diperoleh, penentuan teori yang hendak dipakai akan lebih mudah.
ISI
Setelah merampungkan bagian awal tadi, penelitian pun dapat dilanjutkan dengan lebih bergumul dengan data yang telah diperoleh. Sub dari bagian isi (biasa disebut juga subbab karena bagian isi umumnya dianggap sebagai bab yang mandiri) biasanya tergantung ruang lingkup masalah. Bila masalah yang hendak dibahas terdiri dari tiga butir, sub bagian isi bisa menjadi tiga. Jangan sampai empat apalagi lima, mengingat pada bagian isi, penulis harus melakukan analisa berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada bab pendahuluan.
PENUTUP
Sebagai penutup, pada bagian ini peneliti harus memberi simpulan dari hasil penelitiannya. Simpulan tersebut harus disajikan secara sederhana dan singkat. Tujuannya agar pembaca bisa lebih menangkap hasil penelitiannya secara ringkas.
Salah satu bagian yang tampaknya masih banyak digunakan sebagai sub-bagian dari penutup ialah saran. Sejumlah departemen pada sejumlah perguruan tinggi belakangan ini mulai menghapus bagian tersebut. Sederhananya, sebuah penelitian mensyaratkan sebuah penelitian lanjutan, entah untuk menyanggah atau menguatkan hasil penelitian terdahulu.
BIBLIOGRAFI
Bibliografi atau yang umumnya disebut sebagai daftar pustaka turut menjadi bagian yang penting. Asumsinya, sebuah penelitian ilmiah tentu akan menggunakan referensi-referensi pendukung. Tidak ada batasan minimal maupun maksimal dalam penggunaan referensi. Namun, ini bukan berarti bahwa peneliti bisa seenaknya mencantumkan referensi. Referensi yang terlalu sedikit bisa menandakan peneliti tidak banyak membaca literatur pendukung atau hasil penelitian terkait. Sementara bila terlalu banyak, bisa-bisa dicurigai hasil tulisannya didominasi oleh pendapat ahli daripada pendapat peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, pemanfaatan referensi harus dilakukan sewajar dan seperlunya saja.
Tata cara penulisan bibliografi pun harus diperhatikan. Bedakan sumber referensi yang berasal dari buku dengan majalah dan surat kabar. Mengingat dunia internet saat ini pun menawarkan beragam hasil penelitian yang dengan mudah dapat diakses, peneliti dapat memanfaatkan sumber-sumber tersebut sebagai bahan referensi penelitiannya. Khusus untuk sumber referensi dari internet, saat ini disepakati bahwa tata cara penulisannya sebagai bibliografi diperlakukan seperti layaknya sebuah artikel.
MENGENAI ABSTRAK
Abstrak juga menjadi bagian penting lain yang perlu diperhatikan oleh peneliti. Abstrak merupakan suatu bagian uraian yang sangat singkat, jarang lebih panjang dari enam atau delapan baris, bertujuan untuk menerangkan kepada para pembaca aspek-aspek mana yang dibicarakan mengenai aspek-aspek itu (Keraf 1984).
MENGENAI PRAKATA
Salah kaprah sering terjadi pada bagian ini. Masih banyak yang memilih menggunakan kata pengantar daripada prakata. Perbedaan yang mendasar dari keduanya, kata pengantar ditulis oleh seseorang dalam rangka menyajikan karya tulis orang lain. Biasanya kata pengantar dipilih untuk memberi kesaksian yang menguatkan bagi pembaca, bahwa karya yang disajikan penulis pantas dibaca atau dijadikan referensi. Sebaliknya, prakata merupakan pengantar yang disajikan oleh penulis karya tersebut.
Pada bagian ini, penulis bisa memberi gambaran singkat mengenai karya tulis yang ia hasilkan. Penyajiannya harus dilakukan dengan variasi yang kreatif, agar tidak dianggap menjiplak bagian latar belakang masalah pada pendahuluan.

STRUKTUR DALAM LAPORAN ILMIAH
Pada dasarnya, laporan ilmiah dapat dikatakan sebagai bentuk singkat sebuah makalah penelitian. Hal ini terlihat dari bentuknya. Bila makalah mensyaratkan penyertaan daftar isi beserta daftar-daftar lain yang memang dibutuhkan, laporan ilmiah lebih ringkas lagi. Dalam sebuah laporan ilmiah, biasa disajikan dalam jurnal-jurnal penelitian, struktur sebuah tulisan ilmiah dapat mengikuti pola yang dikemukakan Soeseno (1982) berikut ini.
a. Judul yang disertai nama penulis dan tempat tugas pekerjaannya.
b. Abstrak yang menunjukkan intisari tulisan hasil penelitian yang hendak disajikan.
c. Pendahuluan, yang sering berisi informasi latar belakang dan identifikasi masalah guna mengantar para pembaca ke arah masalah dan pemecahannya.
d. Tubuh utama, yang berisi:
o bahan dan metode penelitian yang dipakai;
o uraian pelaksanaan dan tafsiran maupun rekaannya.
e. Penutup, yang berisi:
o hasil penelitian dan pembahasan;
o ucapan terima kasih kepada mereka yang telah membantu terlaksananya penelitian.
f. Referensi berupa daftar pustaka yang telah digunakan dalam penelitian.
Pola di atas tidak sepenuhnya mutlak. Khusus dalam jurnal-jurnal ilmiah, masing-masing jurnal biasanya memberlakukan struktur penulisannya masing-masing. Informasi itu biasanya selalu disertakan dalam salah satu lembaran jurnal.
Daftar Bacaan
Keraf, Gorys. 2004. "Diksi dan Gaya Bahasa". Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Soeseno, Slamet. 1982. "Teknik Penulisan Ilmiah-Populer". Jakarta: Gramedia.
Sudaryanto. 2001. "Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis". Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Jumat, 28 Mei 2010

hubungan ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Namun hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan, dan ada pula yang agak jauh.
Ilmu-ilmu yang hubungannya dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan berdekatan antara lain Ilmu tasawuf, Ilmu Tauhid, Ilmu Pendidikan, Ilmu Jiwa dan filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan pertengahan adalah Ilmu Hukum, Ilmu Sosial, Ilmu Sejarah, dan Ilmu Antropologi. Dan ilmu-ilmu yang agak jauh hubungannya dengan Ilmu Akhlak adalah ilmu fisika, biologi, dan ilmu politik.
Dalam uraian ini hubungan Ilmu Akhlak hanya akan dibatasi pada ilmu-ilmu yang memiliki hubungan yang sangat erat sebagaimana tersebut di atas. Ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan Ilmu Akhlak tersebut dapat dikemukakan pada bab selanjutnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan permasalahan yang akan kami ambil sebagai acuan pada makalah ini adalah, sebagai berikut:
a. Bagaimana hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf, Ilmu Tauhid, ilmu Jiwa, Filsafat?
b. Bagaimana hubungan Ilmu Jiwa dengan Ilmu Pendidikan?

BAB II
PEMBAHASAN
A. HUBUNGAN ILMU AKHAK DENGAN ILMU TASAWUF
Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat pada kalangan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak terpuji), tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari Tasawuf ternyata pula bahwa al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong –menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana diketauhi bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yangsemuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencega orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akjlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishab bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.
B. HUBUNGAN ILMU AKHAK DENGAN ILMU TAUHID
Ilmu tauhid sebagaimana dikemukakan Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu yang membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu yang terpinting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Selain itu ilmu ini juga disebut sebagai Ilmu Ushul al-Din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama Kitab Ushul al-Din. Dinamakan demikian karena masalah yang pokok dalam Islam. Selain itu ilmu ini juga dikatakan dengan ilmu aqa’id, credo atau keyakinan-keyakinan, dan buku-buku yang menguppas tentang keyakinan-keyakinan diberi judul al-Aqa’id (ikatan yang kokoh).
Selanjutnya ilmu tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang secara harfiah berarti ilmu tentang kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan, maka yang dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada di dalam al-Qur’an, dan masalah ini pernah menimbulkan perbincangan bahkan pertentangan keras di kalangan ummat Islam di abad ke sembilan dan kesepuluh Masehi sehingga menimbulkan pertentangan dan penganiayaan terhadap sesama muslim.
Selanjutnya yang dimaksud dengan kalam adalah kata-kata manusia, maka yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.
Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan ilmu tauhid maka kita dapat memperoleh kesan yang mendalam bahwa Ilmu tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya. Juga termasuk pula pembahasan ilmu tauhid yaitu rukun Iman.
Nah, bagaimana hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu tauhid? Sekuang-kurangnya dapat dilihat melalui tiga analisis sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya.
Ilmu tauhid membahas masalah masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dan utuk mengarahkan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlsan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Alla SWT. Berfirman:
            •    
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah, 98:5).
2. Dilihat dari segi fungsinya.
Ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percapa bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Allah itu. adapun rukun iman yang harus dibina itu adalah:
a. Beriman kepada Allah
Jika seorang beriman kepada Allah dan percaya kepada sifat-sifatnya yang sembilan puluh sembilan itu maka Asmaul Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.
b. Beriman kepada malaikat
Yang dimaksud disini adalah agar manusia meniru sifat-sifat terpuji yang terdapat pada malaikat, seperti jujur, amanah, tidak pernah durhaka, dan patuh pelaksanaan segala yang diperintahkan Tuhan.
c. Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan (Al-Qur’an)
Secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan al-Qur’an sebagai wasit, hakim serta imam dalam kehidupan. Secara tidak sengaja maka kita mengikuti akhlak yang sesuai dengan akhlak yang terdapat dalam al-Qur’an.
d. Beriman kepada Rasul-rasul Allah.
Dalam diri para rasul terdapat akhlak yang mulia. Khususnya pada diri Rasulullah Muhammad SAW. Kita sebagai manusia diperintahkan untuk mecontoh akhlak yang ada pada diri Rasul Allah tersebut.
Dengan cara demikian beriman kepad para rasul akan mneimbulkan akhlak yang mulia. Hal ini dapat diperkuat lagi dengan cra meniru sifat-sifat yang wajib pada Rasul, yanitu sifat shidik (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan ajaran sesuai dengan perintah Allah), dan fathanah (cerdas).
e. Beriman kepada hari akhirat
Dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa selama amal perbuatan yang dilakukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya nanti. Kebahagiaan hidup di akhirat yang ditentukan oleh amal perbuatan yang baik dan sebanyak-banyaknya akan mendorong sesseorang memiliki etos kerja untuk selalu melakukan perbuatan yang baik selama hidupnya di dunia ini.
f. Beriman kepada qada’ dan qadar
Agar orang yang percaya kepada qada’ dan qadar Tuhan itu senantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan yang demikian merupakan perbuatan akhlak yang mulia.
3. Dilihat dari eratnya kaitan antara iman dan amal shalih.
Hubungan antara iman dan amal shalih banyak sekali kita jumpai di dalam Al-Qur’an maupun hadis. Misalnya:
                  
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. Al-Nisa, 4: 65).
                  
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Nur, 24: 51).
                              
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. (QS. Al-Anfal, 8: 2-4).
Jika kita perhatikan ayat-ayat tersebut secra seksama akan tampak bahwa ayat-ayat tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam hubungannya dengan akhlak mulia. Ayat-ayat tersebut memberi petunjuknya dengan akhlak yang mulia. Ayat-ayat tersebut dengan jelas bahwa keimanan harus dimaifestasikan dalam perbuatan akhlak dalam bentuk kerelaan dalam menerima keputusan yang diberikan nabi terhadap perkara yang diperselisihkan di antara manusia, patut dan tunduk terhadap keputusan Allah dan rasulnya, bergetar hatinya jika dibacakan ayat-ayat Allah, bertawakkal, melaksanakan shalat dengan khusyu’, berinfaq di jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak ada gunanya, menjaga farjinya, dan tidak ragu-ragu dalam berjuang di jalan Allah. Maka disinilah letaknya hubungan antara keimanan dengan pembentukan Ilmu Akhlaq. Dari uraian yang agak panjang lebar di atas, dapat dilihat dengan jelas hubungan antara keimanan yang dibahas dalam Ilmu tauhid dengan perbuatan yang dibahas dalam Ilmu Akhlak. Ilmu tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu akhlak tampil dengan memberikan penjabaran dan pengalaman dari Ilmu Tauhid. Tauhid tampa akhlak yang mulia tiada artinya, dan akhlak yang mulia tampa tauhid maka tidak akan kokoh. Selain itu tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut.
C. HUBUNGAN ILMU AKHAK DENGAN ILMU JIWA
Dilihat dari segi bidang garapannya, Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan, misalnya akan melahirkan perbuatan sikap yang enangpula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.
Dengan demikian ilmu jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin manusia dengan cara penginterpretasikan perilakunya yang tampak. Melalui bantuan informasi yang diberikan ilmu jiwa, atau potensi kejiwaan yang diberikan al-Qur’an, maka secara teoritis ilmu Akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Hal ini lebih lanjut dapat kita jumpai dalam uraian mengenai akhlak yang diberikan Quraish Shihab, dalam buku terbarunnya, Wawasan al-Qur’an. Ia mengatakan bahwa: “Kita dapat berkata bahwa secara nyata terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut”. Lebih lanjut mengutip ayat yang berbunyi:
 •
“Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)nya dua jalan mendaki mendaki (baik dan buruk)”. (QS. Al-Balad, 90:10).
Namun demikian dalam kesimpulannya, Quraish Shihab berpendapat bahwa walaupun kesua potensi ini (baik dan buruk) terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghias diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
Selain itu di dalam ilmu jiwa juga terdapat informasi tentang perbedaan psikologis yang diaami seseorang pada setiap jenjang usianya. Gejala psikologis yang dialami anak usia di bawah 5 tahun (balita), kanak-kanak (5-6 tahun), anak-anak (7-12tahun), remaja (13-19 tahun), dewasa (20-40 tahun), orang tua (41-60 tahun), lanjut usia (61-seterusnya) ternyata berlainan.
Banyak hasil pembinaan akhlak yang telah dilakukan para ahli dengan mempergunakan jasa yang diberikan ilmu jiwa, seperti yang dilakukan para psilolog terhadap perbaikan anak-anak nakal, berperlaku menyimpang dan lain sebaginya.
D. HUBUNGAN ILMU JIWA DENGAN ILMU PENDIDIKAN
Ilmu pendidikan sebagai dijumpai dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam ilmu ini antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, materi pelajaran (kurikulum), guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses belajar-mengajar, dan lain sebagainya.
Semua aspek pendidikan ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas mansuia yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu Mohd. Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah adalah jiwa dari pendidikan islam, dan islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Selanjutnya al-Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul fatah jalal mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.
Jika rumusan dari keempat tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan antara satu dengan yang lainnya. Maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya seorang hamba Allah yang patut dan tunduk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia. Rumusan ini menggambarkan bahwa antara Pendidikan Islam dan Ilmu Akhlak ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan Islam merupakan sarana yang mengantarkan anak didik agar menjadi orang yang berakhlak.
E. HUBUNGAN ILMU AKHAK DENGAN FILSAFAT
Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan tematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Di dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya.
Di antara filsafat obyek pemikiran filsafat yan erat kaitannya dengan Ilmu Akhlak adalah tentang manusia. Para filosof Muslim seperti Ibn Sina (980-1037 M.) dan al-Gazali (1059-1111 M) memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina merupakan petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep Ilmu Akhlak.
Pemikiran al-Gazali ini memberikan petunjuk adanya perbedaan cara pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran tentang manusia dapat pula kita jumpai pada Ibn Khaldun. Dalam pemikiran Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhlik budaya yang kesempurnaannya baru akan tewujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ia menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembinaan manusia dalam pembinaan akhlaknya.
Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosof itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Engan cara demmikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai.
Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam Ilmu Akhlak, perlu pula melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu urian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada disekitar manusia.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari bab sebelumnya kita sudah membahas berbagai macam ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Akhlak. Untuk itu kami dapat mengambil kesimpulan bahwa:
1. Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf sangat erat kaitannya. Dalam mempelajari ilmu tasawuf ternya al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong –menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
2. Hubungan antara keimanan yang dibahas dalam Ilmu tauhid dengan perbuatan yang dibahas dalam Ilmu Akhlak. Ilmu tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu akhlak tampil dengan memberikan penjabaran dan pengalaman dari Ilmu Tauhid. Tauhid tampa akhlak yang mulia tiada artinya, dan akhlak yang mulia tampa tauhid maka tidak akan kokoh. Selain itu tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut.
3. Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui psikologis yang dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan, misalnya akan melahirkan perbuatan sikap yang enangpula, sebaliknya jiwa yang kotor, banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat, sesat dan menyesatkan orang lain.
4. Tujuan pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas mansuia yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu Mohd. Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah adalah jiwa dari pendidikan islam, dan islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Selanjutnya al-Attas mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul fatah jalal mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah.
5. Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam Ilmu Akhlak, perlu pula melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu urian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada disekitar manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Nata Abuddin, 2008. Akhlak Tasawuf. PT. Raja Grafindo Persada ed. 1-7. Jakarta.